Setidaknya Pulsaku Berguna

05.07


"Malam hari aku masuk kekamar, fikri seperti biasa sedang mengobrol via telpon didepan teras. Aku gelar kasur dan merebahkan badan. Ku tatap langit-langit. Menahan napas lalu mengeluarkanya, huft lega sekali hari ini, qodir bilang bapaknya akan datang menjenguk minggu depan, ya allah aku bersyukur sekali setidaknya pulsaku berguna"

aku duduk sambil termenung  memegang hape, sambil sesekali kuminum kopi "ahh.. nikmat sekali! kataku dalam hati. tunggu dulu jangan kau anggap aku sedang nongkrong di kafe mahal daerah kemang sambil menunggu pacar seksi datang oh tidak tidak seperti itu, lebih tepatnya aku berada di kantor guru melepas penat setelah mengajar, yah saya sudah delapan bulan mengabdi di pesantren ini, jelas bukan kemauanku untuk mengabdi tapi lebih kepada tugas. maklum mengabdi adalah syarat dapat ijazah bagi seorang alumni, itu merupakan aturan mutlak di pondok kami di sukabumi. setelah lulus kemarin kami langsung dikirim ke tempat pengabdian. beberapa teman mendapat tempat pengabdian di pulau seberang nan jauh, ada yang di jambi bengkulu aceh  maupun di wonosobo, entah bagaimana kabar mereka sekarang. Sudah lama kami tidak saling mengontak. Berbeda nasib dengan mereka aku setidaknya patut bersyukur karena mendapat tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah, aku mengabdi di desa cimeong bogor. jujur saat ini aku sudah nyaman tinggal dan mengabdi dipondok, dulu memang sangatlah berat sekali bagiku menjalani ini, aku selalu iri membayangkan betapa nikmatnya teman-teman yang sekolah diluar pasti mereka sedang merasakan kesenangan bisa bertemu banyak orang, mendapatkan pengalaman dan kegiatan menarik di universitas favorit pilihan mereka, sedangkan aku harus kembali menjalani rutinitas tak jauh berbeda yang kulakukan selama enam tahun lalu ketika menjadi santri. dengan kegiatan yang melelahkan bahkan ada yang membosankan, tetapi itu tidak membutaku putus asa. aku selalu berusaha sabar dan tabah dan selalu ingat dengan petuah "apabila kalian sabar sedikit saja maka kalian akan menikmati kenikmataan yang banyak" pesan Thariq bin Ziyad kepada anak buahnya dengan berapi- api, beliau adalah seorang panglima perang islam yang menaklukan spanyol kala itu. Pesan Thariq bin Ziyad yang diajarkan guruku dikelas lima itu sedikit membutaku sadar bahwa pengabdian sebenarnya bukanlah beban tapi adalah nikmat, karena kesabaran kala belajar ilmu akan menjadi nikmat belajar ilmu, sabar saat mengajar menjadi nikmat ketika berbagi ilmu, sabar dalam beramal menjadi nikmat saat mengamalkan ilmu. apalagi ini tidak berlangsung lama setelah setahun nanti aku pun bisa kuliah seperti teman-teman. Aku benar-benar patut bersyukur untuk semua nikmat ini.

 cimeong adalah desa yang sangat asri dan damai, banyak pepohonan rindang ladang ladang dan sawah yang hijau, ditambah santri-santri yang baik dan santun membuat aku semakin menikmati masa pengabdian

hari ini saya kedapatan mengajar ilmu nahwu red: (ilmu tata bahasa arab) di kelas tiga dan lima, kopi hampir setengah habis setelah lima belas menit yang lalu ku minum, jam dinding kantor menunjukan pukul sembilan dua puluh lima menit "hmm masih ada lima menit lagi waktu istirahat" ujar dalam hati, ku pandangi hape ku, lalu ku buka menu sambil mengatak atik lihat album, terlihat fotoku minggu lalu dengan senapan angin milik haji dadang (seorang pemilik ladang dibelakang pondok), senapan milik haji dadang bewarna coklat, dengan gagang kayu kokoh, dan suara nyaring cukup membuatku tampak gagah didepan para santri. aku sudah lama sangat ingin memilikinya bahkan kemarin ia sampai kesal karena aku selalu memainkan senapan miliknya. aku tertawa sedikit mengingat ekspresi kemarahanya.

klonteng...klonteng...bel tanda istirahat habis, saatnya masuk kembali dan mengajar kelas terakhir. aku segera mengantongi hape lalu keluar dari kantor menuju wc untuk berwudhu, aku sudah terbiasa berwudhu sebelum mengajar walaupun meski pada dasarnya tidaklah wajib, namun bagiku mengajar juga merupakan ibadah maka alangkah baiknya bila kita dalam keadaan suci, ditambah terkadang dalam ilmu nahwu harus memberikan contoh langsung dari al-qur'an maka sepatutnya kita dalam keadaan suci. 

"tadz Mufti! jangan lupa ya..! seorang santri kecil kerap disapa Raju berkata setengah teriak kepadaku, belum sempat menjawab dia langsung pergi menuju kelasnya "hufftt apaan si bocah?" ujar dalam hati. aku pun berlalu menuju  ruangan kelas lima. 


"assalamualaikum... kaefa halukum?" 

'alhamdulillah bilkhair .... jawab mereka serempak. 

"baiklah kemarin kita sudah belajar tentang kaidah tamyiz sekarang tolong kalian terapkan pada latihan ke lima puluh empat, paham? 'iyaaa.." perintah ku dalam bahasa arab. 

kemudian aku duduk dan membacakan absen, sangatlah mudah mengabsen mereka semua karena jumlah santri kelas lima hanya sepuluh orang, maklumlah untuk sebuah pondok yang belum lama berdiri ini.

"ihsan!... 'hadirr.. qodir! 'di dapur tadz bantu ummi.." terang ihsan padaku. 

aku sebenarnya sudah maklum qodir tidak masuk, seperti biasa dia membatu ummi  (sebutan istri kyai) di dapur, aku akui qodir memang seorang santri yang taat dan cekatan itu jugalah alasan mengapa ummi selalu meminta bantuan padanya mulai dari belanja, memasak sampai bersih-bersih rumah kyai, bahkan kopi yang kuminum saat istirahat tadi adalah kopi buatanya, qodir memang benar benar anak yang cekatan, lebih dari itu dia juga rajin, seperti kemarin malam aku melihatnya belum tidur dan masih menyalin beberapa catatan pelajaran.

"dir!..ente belom tidur? udah malem ini" kataku agak prihatin

"iya tadz dikit lagi kok ini!" jawabnya sambil mentatapku

"oh gitu, yaudah pokoknya jam dua belas udah tidur dir ya!..hmm,, jangan lupa matiin lampu sama bangunin santri yang jaga malam!" tukasku menyuruhnya.

"siap tadz!" jawabnya menutup percakapan semalam

klonteng..klonteng...bel berbunyi tanda jam pelajaranku sudah usai saatnya jam pelajaran lain, setelah memberi salam aku bergegas keluar sambil membawa beberapa buku santri yang tak sempat kuperiksa. jam belajar belum habis tapi jadwal mengajarku hari ini sudah selesai, aku berjalan ke kantor untuk mengambil tas, disana ada beberapa guru lainya. Aku hampiri ustadz dani dan deditya yang sedang mengobrol.  setelah basa-basi sebentar aku segera berlalu ke kamar, "pokoknya kegiatan hari ini nyuci sampai habis" kataku membatin, sudah seminggu aku tidak mencuci, pakaian kotor menggunung. padahal kemarin sudah niat, sabun dan sikat sudah kubawa tapi  tiba-tiba aku dipanggil kyai untuk bantu-bantu haji dadang acara akekahan cucunya yang kelima, akhirnya pupus sudah harapan, hari itu aku tidak jadi mencuci. dan  kalau hari ini ditunda lagi bisa-bisa stok pakaianku bisa habis. Turun dari tangga kamar kubawa dua buntalan besar pakaian, tak perlu lama aku menuju wc lalu mengambil ember tiga buah kuisi dengan pakaianku dan aku mulai mencuci sampai sore.

aku sedang makan didapur. mencuci pakaian tiga ember membuatku lapar, "tut..tut..tut.." hapeku bunyi sudah lama sekali hapeku tak bunyi, terakhir minggu lalu saaat sms ibuku masuk. Kuambil hape disebelah terlihat layarnya tertulis AYAH RAJU, aku teringat perkataan raju tadi pagi "tadz jangan lupa ya!.."  dan sekarang aku baru sadar besok adalah hari jum'at yang berarti hari jenguk para santri,  aku sudah hafal betul pasti siang kamisnya Ayah raju menelpon, namun hari ini tumpukan cucian cukup membuatku lelah dan lupa. segera aku memanggil anak yang meneriakiku tadi pagi, si Raju ya.. si Raju. selang beberapa detik ia datang ke arahku dengan wajah sumringah, aku sodorkan hape padanya lalu spontan dia meraih hapeku, dan berbicara dengan ayahnya via telpon. terdengar suara ayahnya menanyakan kabar dan kondisi anaknya.

 aku melanjutkan makan yang sisa setengah sampai habis, sayur lodeh buatan qodir memang nomer satu sudah sepiring nasi, sepotong ikan dan semangkok sayur ludes kumakan, "ah..puas sekali aku makan" kataku sambil cuci piring kotorku, ku lirik raju di teras masih asyik menelpon lalu ku beri isyarat agar menyudahi, sudah sepuluh menit dia menelpon. sebagai guru aku harus tegas, peraturan pondok sudah jelas tidak boleh lama-lama memberikan santri menelpon. memberi jasa telpon hanya seperlunya tak lebih, itupun hanya dihari kamis atau jum’at, saat para santri dijenguk orang tuanya. bagiku sepuluh menit cukup untuk berbicara banyak dengan orang tua, apalagi seorang raju, sebenarnya dia tidak perlu berbicara banyak karena pasti besok orangtuanya akan datang menjenguk.

beberapa detik setelah kuperingatkan dia akhirnya menyudahi obrolan dengan bapaknya lalu menghampiriku,” tadz mufti terimakasih ya!” katanya dengan wajah sumringah, wajah yang  selalu sama setiap minggu. “iya sama-sama, tapi ingat besok-besok kalo nelpon jangan lama-lama ya!!!” ujarku dengan penuh wibawa. Dia mengganguk dan pamit ke kamar.

Setelah sholat ashar berja’maah di masjid, aku kembali ke kamar. Untuk hari ini aku absen dulu mengaji kitab jurumiyyah. Mencuci siang tadi benar melelahkan, dikamar aku gelar kasur lalu merebahkan badan. Sambil memandangi langit-langit, aneh hari ini tak ada santri yang meminta jasa telponku selain raju. “mungkin mereka meminta pada ustadz lainnya.” Ujarku dalam hati.

 Hampir saja aku terlelap dan memejamkan mata terdengar  suara berisik dari depan teras. “ah paling dia!..” kataku. Karena merasa tergangu Aku bangkit  menengok kedepan teras. ternyata benar rupanya ustadz fikri, seorang teman pengabdianku. sedang asyik becengkrama dengan perempuan via telpon miliknya. Aku hanya bisa geleng-geleng, ku panggil dia dan memintanya untuk tidak berisik, dia mengangguk dan memberi isyarat dengan jarinya “dua menit lagi” katanya.  Aku mak’lum dengannya, karena temanku yang satu ini memang cukup ganteng,  kulitnya yang putih dan badannya yang tegap, membuat banyak perempuan suka padanya. Sehingga tiap hari tak jarang dia mendapat telpon atau sms yang tak kenal waktu baik siang maupun malam bahkan pernah waktu itu kupergoki dia menelpon lama saat jam mengajar dikamar, Santri ditelantarkan jam pelajaran menjadi kosong. mereka keluar dari kelas, becanda dan membuat gaduh, aku pun naik pitam, kemarahanku meledak. akhirnya kuhukum mereka berlari keliling lapangan sampai bel sekolah selesai. Dzuhurnya akut temui fikri dan kutegur dia, namun respon tak sedap dengan tampang tanpa dosa yang kudapat, membuatku tambah kesal, Sejak saat aku menaruh benci padanya.

Aku kembali merebahkan badan dikasur, kuraih hape disebelah kasur, kunyalakan tak tampak ada notifikasi apapun baik telpon ataupun sms, hanya ada sms ibuku saat mentransfer uang minggu lalu. Dan panggilan masuk bapak raju sore ini. Ku periksa kontak telpon satu-satu dari atas sampai bawah. Hampir tak ada satupun yang bisa disms atau sekedar diajak mengobrol. Pulsa 10 ribu yang kubeli hampir seminggu lalu masih utuh, malangnya diri ini, Sungguh 180 derajat berbalik nasibku dengan fikri yang selalu banyak mendapat telpon dan sms. Kupejamkan mata, lalu kuambil nafas dalam-dalam. Huh ternyata aku tidak Cuma benci fikri aku juga iri padanya. Tak lama aku terlelap

------------------------------------------------------------------------------------


Siang itu aku pulang juma’tan dari masjid Al-Ikhlas dengan motor bututku vespa super tahun 75. Terlalu jadul untuk seorang pemuda sepertiku, tapi hanya itu yang bisa bapaku berikan. Seorang guru tua, dengan semangat mengajar dan mendidik anak bangsa, beliau percaya bangsa ini masih punya harapan. Dimataku Beliau sosok penyabar dan jarang marah. Beliau sering memberikan teladan baik dan selalu hadir mengayomi orang-orang. Ah sudahlah tak ada habisnya bercerita tentang bapaku, yang jelas dalam hatiku bapaku adalah pahlawanku, aku ingin seperti dia dengan sifat-sifat baiknya.

Qodir duduk dibelakang berpegangan diperutku.

“dir, yang kenceng pegangannya ane mau ngebut!” perintah sambil kuputar gas.

“pelan-pelan tadz!...” teriaknya sambil memegang erat ketakutan.

“hahaha…..tenang aja dir!.”  Aku ketawa lepas melihat ekspresinya.
Speedometer motorku bergerak perlahan.

Padahal Vespaku tidak kencang.  Kecepatan maksimalnya hanya 60 km/jam tak lebih. Saking pelannya Pembalap sepeda yang kulihat di tv bisa berjalan lebih cepat didepanku. Ketakutan qodir bukan karena aku  ngebut. Tapi jalan desa pondok kami yang rusak dan tak beraturan lebih menakutkan baginya. Kerasnya aspal tambal-tambalan sudah dia rasakan dan mungkin membuatnya trauma, aku lupa kapan kejadiannya, yang aku tau waktu itu aku ketawa melihatnya mengelus pantat sambil mengaduh. Dan Besoknya dia absen sekolah.

  Qodir sudah sering naik vespaku, biasanya kuajak dia jalan mengelilingi kampung disore hari, melihat ladang dan sawah-sawah hijau yang indah.  paling tidak dua minggu sekali kami berkeliling keluar menghilangkan penat sampai maghrib. Tujuanku hanya satu ingin memberinya hiburan, bukan berarti pilih kasih kepada santri. Tapi Qodir sangatlah berbeda dengan lainya,  tak ada uang saku tak ada hari jenguk baginya. Orang  tuanya tak pernah kulihat menjenguk barang sekali selama aku mengabdi. Pak kyai pun merasa iba padanya, beliau menggeratiskan semua biaya untuk qodir, sebagai balasan qodir selalu ikhlas membantu ummi didapur. Entah dimana orangtuanya sekarang tapi yang jelas mereka sudah sangat keterlaluan, meski aku tau mereka sulit ekonomi, namun kedatangan mereka setidaknya mengobati rasa rindu  seorang qodir. Aku suka sedih kalau melihatnya sendiri dikamar saat yang lain bercengkrama dengan orangtua masing-masing saat hari jenguk. Itu alasan kuat aku sering mengajaknya keluar.

Kami sudah sampai di pondok, qodir melepas pegangannya, dia turun didepan gerbang. Berterimakasih padaku atas tumpangan, lalu berlari menuju dapur. Santri yang lain masih belum datang perlu lima menit untuk berjalan dari masjid Al-Ikhlas sampai pondok. Setelah parkir, aku susul qodir didapur, kulihat dia membantu ummi menyiapkan makan siang. Berbeda dengan hari biasanya, makan siang pada hari jum’at lebih special, dengan menu enak ayam atau daging menjadi keberkahan tersendiri dihari jum’at. Terutama bagi mereka yang tidak dijenguk.

Diluar perkiraanku, beberapa santri datang lebih cepat dan langsung menuju dapur. “mungkin mereka tidak dijenguk” kataku dalam hati. Ummi menyendokan opor ayam diatas nasiku.

“kuahnya tambah lagi gak tadz?” Tanya ummi sambil tersenyum

“iya mi..” kataku mengangguk sambil nyengir.

nikmat sekali opor ayam buatan ummi hampir sama dengan opor buatan ibuku dirumah saat lebaran, tak perlu lama cukup 3 menit makan siangku sudah habis.
aku segera mencuci piring. Tak seperti ustadz lainya yang makan dikamar. Aku lebih memilih makan didapur bersama para santri. Aku senang bisa dekat dan Berinteraksi dengan mereka, karena aku yakin mereka pasti butuh sosok ustadz yang mendengar curhat dan keluhan-keluhan mereka. Mungkin aku menurunkan sifat mulia bapaku.

“Tin..tin..”.bunyi klakson mobil putih Toyota pajero didepan gerbang, aku kenal sekali mobil itu, mobil yang tiap minggu datang kepondok, mobil yang selalu membuat seorang raju bahagia. Dengan sigap segera kusuruh santri untuk membuka gerbang lebar-lebar, sebenarnya gerbang pondok kami selalu terbuka, tapi untuk sebuah pajero besar masuk gerbang harus dibuka full.

Ayah raju menyapaku, aku tersenyum membalas sapa. Kami mengobrol sebentar diteras masjid, beliau menanyakan banyak hal tentang anaknya saat ini, dengan senang hati aku menjawabnya, sebagai seorang guru aku melihat banyak perubahan pada diri raju, dulu dia sangat manja, seperti anak orang kaya pada umumnya. Tapi sekarang sedikit-sedikit mulai tampak kemandiriannya. belakangan juga dia terlihat rajin berbeda dengan delapan bulan lalu saat dia hanya ingin bermain dan tak mau belajar. Ayah raju sangat gembira mendengar perkembangan anaknya. Dia berterimakasih sekali padaku tapi sekali lagi aku jelaskan padanya itu bukan karenaku, semua karena pondok ini selalu berusaha memberikan pendidikan kedisiplinan dan tanggung jawab. Dia tersenyum lalu merogoh kantong celana lalu memberikan amplop putih padaku, aku segera menolak tapi dia terus memaksa, akhirnya aku mengalah aku terima juga amplop putih itu tak ada salahnya menerima pemberian orang lain kataku dalam hati.

 Diteras masjid sudah banyak orang, satu persatu walisantri berdatangan, Beberapa dari mereka sudah tua, guratan wajah tampak sekali. Banting tulang untuk menyekolahkan anak, berharap suatu saat kelak mereka tumbuh menjadi seorang yang sukses. Para santri menghampiri orangtua mereka menyambut dengan senyum kegembiraan. Ah aku jadi teringat qodir.

Setelah selesai mengobrol dengan ayah raju aku pamit kekamar. Aku menyapa beberapa walisantri,  mereka tersenyum. Senang rasanya melihat wajah-wajah ikhlas mereka. Aku berlalu, dikamar segera kubuka amplop putih dengan hati-hati. Satu lembaran uang lima puluh ribu rupiah yang masih kaku, baunya menandakan cetakan baru, ini sudah kelima kalinya aku diberikan uang oleh ayahnya raju. Uang pemberiannya minggu lalu masih tersisa tiga puluh ribu, aku tidak banyak jajan, uangnya hanya kubelikan pulsa dan bensin untuk vespaku. Keduanya masih utuh, pulsaku masih sepuluh ribu, dan bensin vespaku masih full. Persis seperti minggu lalu.

Aku keluar kamar melewati lorong asrama. Bangunan persegi panjang dengan dua tingkat cukup menampung seluruh santri pondok ini. Aku menuju kamar qodir. Dia ada disana sedang membaca buku. Aku menghampirinya, mau memberikan uang lima puluh ribu yang tadi. Aku tidak butuh uang itu, kiriman orangtuaku masih ada. Qodir lebih berhak dan membutuhkan uang itu ketimbang diriku.

“assalamualaikum….” Aku masuk kekamarnya

“waalaikumsalam…eh ustadz mufti,.” Dia agak kaget melihatku datang tiba-tiba

“lagi baca apa?” tanyaku basa-basi cover hijau itu sudah aku kenal sekali.

“ini kitab jurumiyyah tadz.” Jawabnya  menunjukan bacaan depan cover.

Aku tersenyum, dia anak yang baik, buku mungkin bisa mengalihkan rasa perih melihat teman-teman lainnya dijenguk. Aku merogoh kantong. Mengeluarkan uang lima puluh ribu.

“dir, ane lagi ada rezeki, ini ada uang buat ente, duit ane masih banyak.” Kataku sambil menyodorkan uang baru itu.

“gak usah tadz, ane juga baru dikasih duit sama ummi kemaren” katanya menolak.

“Cuma buat tambah-tambahan aja dir.” aku terus memaksanya, karena aku tau uang pemberian ummi tidak seberapa. Tidak untuk satu bulan kedepan.

“gak usah tadz.” Dia tetap menolak dengan mata penuh keyakinan, sejak dulu pendirian qodir memang kuat. Aku mengangguk nggak bisa berbicara lagi ketika dia bilang tidak berarti tidak.walau ekonomi sulit tidak menjadikannya meminta-minta belas kasihan pertolongan orang lain, seperti pesan selalu diulang-ulang kyai saat pelajaran kitab jurumiyyah.

Hampir saja aku beranjak keluar kamarnya, dia menghentikanku. Lalu bilang ingin menelpon orangtuanya, aku kaget  mendengarnya. Ini untuk kali pertama dia memintaku menelpon orangtuanya, padahal biasanya dia selalu menolak kalau aku tawarkan. Entah ada angin apa, tapi yang jelas senang dia mau menelpon orangtuanya. Aku mengangguk dia tersenyum.

“mana nomor teleponya dir?” tanyaku.

“ada tadz, tunggu dulu ya!” katanya setengah berlari menuju lemari miliknya. Tak lama dia mengeluarkan buku kusam dari kardus berdebu, dibuka halamannya-halamannya akhirnya ketemu juga, catatan lama tertulis nomor telepon ayah ; 086992311.

Kuberikan hapeku padanya, dia langsung menghubungi nomor itu.
“tut..tut..tutt…”  bunyi hapeku. Aku menatap qodir, mukanya agak cemas, Dalam hati aku berdoa semoga nomor ayahnya masih aktif. Doaku terkabul selang beberapa detik kemudian, telepon dianggkat. Qodir memberi salam, terdengar jawaban salam dari sana, dari seorang lelaki tua. Suaranya serak, seperti banyak beban dipikulnya.

“ini qodir pak!, bapak kapan mau jenguk qodir??....qodir kangen bapak” katanya sambil meneteskan air mata.  

Tak kuasa aku menahan air mata melihatnya, ini untuk pertama kalinya qodir menelpon orangtuanya, entah alasan apa yang membuat mereka tega tidak menjenguk qodir, aku tak peduli yang penting saat ini aku terharu melihat seorang anak yang akhirnya bisa menghubungi bapaknya melepas kerinduan via telepon.

Air mata qodir semakin deras, aku segera pergi keluar, tak tahan aku berlama-lama. Turun tangga menuju empang samping asrama untuk menengankan diri, ku usap air mataku dengan lengan baju, aku tak boleh banyak mengeluarkannya, supaya aku tidak terlihat lemah didepan santri.

------------------------------------------------------------------------------------------

Malam hari aku masuk kekamar, fikri seperti biasa sedang mengobrol via telpon didepan teras. Aku gelar kasur dan merebahkan badan. Ku tatap langit-langit. Menahan napas lalu mengeluarkanya, huft lega sekali hari ini, qodir bilang bapaknya akan datang menjenguk minggu depan, ya allah aku bersyukur sekali setidaknya pulsaku berguna.


Kairo 13 September 2015

-----------------------------------















You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts