Setidaknya Pulsaku Berguna
05.07
"Malam hari aku masuk kekamar, fikri seperti biasa sedang mengobrol via telpon didepan teras. Aku gelar kasur dan merebahkan badan. Ku tatap langit-langit. Menahan napas lalu mengeluarkanya, huft lega sekali hari ini, qodir bilang bapaknya akan datang menjenguk minggu depan, ya allah aku bersyukur sekali setidaknya pulsaku berguna"
aku duduk sambil termenung memegang
hape, sambil sesekali kuminum kopi "ahh.. nikmat sekali! kataku dalam
hati. tunggu dulu jangan kau anggap aku sedang nongkrong di kafe mahal daerah
kemang sambil menunggu pacar seksi datang oh tidak tidak seperti itu, lebih
tepatnya aku berada di kantor guru melepas penat setelah mengajar, yah saya
sudah delapan bulan mengabdi di pesantren ini, jelas bukan kemauanku untuk
mengabdi tapi lebih kepada tugas. maklum mengabdi adalah syarat dapat ijazah
bagi seorang alumni, itu merupakan aturan mutlak di pondok kami di sukabumi. setelah
lulus kemarin kami langsung dikirim ke tempat pengabdian. beberapa teman
mendapat tempat pengabdian di pulau seberang nan jauh, ada yang di jambi
bengkulu aceh maupun di wonosobo, entah bagaimana kabar mereka sekarang. Sudah
lama kami tidak saling mengontak. Berbeda nasib dengan mereka aku setidaknya
patut bersyukur karena mendapat tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah, aku
mengabdi di desa cimeong bogor. jujur saat ini aku sudah nyaman tinggal dan
mengabdi dipondok, dulu memang sangatlah berat sekali bagiku menjalani ini, aku
selalu iri membayangkan betapa nikmatnya teman-teman yang sekolah diluar pasti
mereka sedang merasakan kesenangan bisa bertemu banyak orang, mendapatkan
pengalaman dan kegiatan menarik di universitas favorit pilihan mereka,
sedangkan aku harus kembali menjalani rutinitas tak jauh berbeda yang kulakukan
selama enam tahun lalu ketika menjadi santri. dengan kegiatan yang melelahkan bahkan
ada yang membosankan, tetapi itu tidak membutaku putus asa. aku selalu berusaha
sabar dan tabah dan selalu ingat dengan petuah "apabila kalian sabar
sedikit saja maka kalian akan menikmati kenikmataan yang banyak" pesan
Thariq bin Ziyad kepada anak buahnya dengan berapi- api, beliau adalah seorang
panglima perang islam yang menaklukan spanyol kala itu. Pesan Thariq bin Ziyad
yang diajarkan guruku dikelas lima itu sedikit membutaku sadar bahwa pengabdian
sebenarnya bukanlah beban tapi adalah nikmat, karena kesabaran kala belajar
ilmu akan menjadi nikmat belajar ilmu, sabar saat mengajar menjadi nikmat
ketika berbagi ilmu, sabar dalam beramal menjadi nikmat saat mengamalkan ilmu.
apalagi ini tidak berlangsung lama setelah setahun nanti aku pun bisa kuliah
seperti teman-teman. Aku benar-benar patut bersyukur untuk semua nikmat ini.
cimeong
adalah desa yang sangat asri dan damai, banyak pepohonan rindang ladang ladang
dan sawah yang hijau, ditambah santri-santri yang baik dan santun membuat aku
semakin menikmati masa pengabdian
hari ini saya kedapatan mengajar ilmu nahwu red: (ilmu tata bahasa arab) di kelas
tiga dan lima, kopi hampir setengah habis setelah lima belas menit yang lalu ku
minum, jam dinding kantor menunjukan pukul sembilan dua puluh lima menit
"hmm masih ada lima menit lagi waktu istirahat" ujar dalam hati, ku
pandangi hape ku, lalu ku buka menu sambil mengatak atik lihat album, terlihat
fotoku minggu lalu dengan senapan angin milik haji dadang (seorang pemilik
ladang dibelakang pondok), senapan milik haji dadang bewarna coklat, dengan
gagang kayu kokoh, dan suara nyaring cukup membuatku tampak gagah didepan para
santri. aku sudah lama sangat ingin memilikinya bahkan kemarin ia sampai kesal
karena aku selalu memainkan senapan miliknya. aku tertawa sedikit mengingat
ekspresi kemarahanya.
klonteng...klonteng...bel tanda istirahat
habis, saatnya masuk kembali dan mengajar kelas terakhir. aku segera
mengantongi hape lalu keluar dari kantor menuju wc untuk berwudhu, aku sudah
terbiasa berwudhu sebelum mengajar walaupun meski pada dasarnya tidaklah wajib,
namun bagiku mengajar juga merupakan ibadah maka alangkah baiknya bila kita
dalam keadaan suci, ditambah terkadang dalam ilmu nahwu harus memberikan contoh
langsung dari al-qur'an maka sepatutnya kita dalam keadaan suci.
"tadz Mufti! jangan lupa ya..!
seorang santri kecil kerap disapa Raju berkata setengah teriak kepadaku, belum
sempat menjawab dia langsung pergi menuju kelasnya "hufftt apaan si
bocah?" ujar dalam hati. aku pun berlalu menuju ruangan kelas
lima.
"assalamualaikum... kaefa halukum?"
'alhamdulillah bilkhair .... jawab mereka serempak.
"baiklah kemarin kita sudah belajar
tentang kaidah tamyiz sekarang tolong kalian terapkan
pada latihan ke lima puluh empat, paham? 'iyaaa.." perintah ku dalam
bahasa arab.
kemudian aku duduk dan membacakan absen,
sangatlah mudah mengabsen mereka semua karena jumlah santri kelas lima hanya sepuluh
orang, maklumlah untuk sebuah pondok yang belum lama berdiri ini.
"ihsan!... 'hadirr.. qodir! 'di dapur tadz bantu
ummi.." terang ihsan padaku.
aku sebenarnya sudah maklum qodir tidak
masuk, seperti biasa dia membatu ummi (sebutan istri kyai) di dapur, aku
akui qodir memang seorang santri yang taat dan cekatan itu jugalah alasan
mengapa ummi selalu meminta bantuan padanya mulai dari belanja, memasak sampai
bersih-bersih rumah kyai, bahkan kopi yang kuminum saat istirahat tadi adalah
kopi buatanya, qodir memang benar benar anak yang cekatan, lebih dari itu dia
juga rajin, seperti kemarin malam aku melihatnya belum tidur dan masih menyalin
beberapa catatan pelajaran.
"dir!..ente belom tidur? udah malem
ini" kataku agak prihatin
"iya tadz dikit lagi kok ini!"
jawabnya sambil mentatapku
"oh gitu, yaudah pokoknya jam dua
belas udah tidur dir ya!..hmm,, jangan lupa matiin lampu sama bangunin santri
yang jaga malam!" tukasku menyuruhnya.
"siap tadz!" jawabnya menutup
percakapan semalam
klonteng..klonteng...bel berbunyi tanda
jam pelajaranku sudah usai saatnya jam pelajaran lain, setelah memberi salam
aku bergegas keluar sambil membawa beberapa buku santri yang tak sempat
kuperiksa. jam belajar belum habis tapi jadwal mengajarku hari ini sudah
selesai, aku berjalan ke kantor untuk mengambil tas, disana ada beberapa guru
lainya. Aku hampiri ustadz dani dan deditya yang sedang mengobrol. setelah basa-basi sebentar aku segera berlalu
ke kamar, "pokoknya kegiatan hari ini nyuci sampai habis" kataku
membatin, sudah seminggu aku tidak mencuci, pakaian kotor menggunung. padahal
kemarin sudah niat, sabun dan sikat sudah kubawa tapi tiba-tiba aku
dipanggil kyai untuk bantu-bantu haji dadang acara akekahan cucunya yang
kelima, akhirnya pupus sudah harapan, hari itu aku tidak jadi mencuci.
dan kalau hari ini ditunda lagi bisa-bisa stok pakaianku bisa habis.
Turun dari tangga kamar kubawa dua buntalan besar pakaian, tak perlu lama aku
menuju wc lalu mengambil ember tiga buah kuisi dengan pakaianku dan aku mulai
mencuci sampai sore.
aku sedang makan didapur. mencuci pakaian
tiga ember membuatku lapar, "tut..tut..tut.." hapeku bunyi sudah lama
sekali hapeku tak bunyi, terakhir minggu lalu saaat sms ibuku masuk. Kuambil
hape disebelah terlihat layarnya tertulis AYAH RAJU, aku teringat perkataan
raju tadi pagi "tadz jangan lupa ya!.." dan sekarang aku baru sadar besok
adalah hari jum'at yang berarti hari jenguk para santri, aku sudah hafal betul pasti siang kamisnya
Ayah raju menelpon, namun hari ini tumpukan cucian cukup membuatku lelah dan
lupa. segera aku memanggil anak yang meneriakiku tadi pagi, si Raju ya.. si Raju.
selang beberapa detik ia datang ke arahku dengan wajah sumringah, aku sodorkan
hape padanya lalu spontan dia meraih hapeku, dan berbicara dengan ayahnya via
telpon. terdengar suara ayahnya menanyakan kabar dan kondisi anaknya.
aku
melanjutkan makan yang sisa setengah sampai habis, sayur lodeh buatan qodir
memang nomer satu sudah sepiring nasi, sepotong ikan dan semangkok sayur ludes
kumakan, "ah..puas sekali aku makan" kataku sambil cuci piring
kotorku, ku lirik raju di teras masih asyik menelpon lalu ku beri isyarat agar
menyudahi, sudah sepuluh menit dia menelpon. sebagai guru aku harus tegas,
peraturan pondok sudah jelas tidak boleh lama-lama memberikan santri menelpon.
memberi jasa telpon hanya seperlunya tak lebih, itupun hanya dihari kamis atau
jum’at, saat para santri dijenguk orang tuanya. bagiku sepuluh menit cukup
untuk berbicara banyak dengan orang tua, apalagi seorang raju, sebenarnya dia
tidak perlu berbicara banyak karena pasti besok orangtuanya akan datang
menjenguk.
beberapa detik setelah kuperingatkan dia akhirnya
menyudahi obrolan dengan bapaknya lalu menghampiriku,” tadz mufti terimakasih
ya!” katanya dengan wajah sumringah, wajah yang
selalu sama setiap minggu. “iya sama-sama, tapi ingat besok-besok kalo
nelpon jangan lama-lama ya!!!” ujarku dengan penuh wibawa. Dia mengganguk dan
pamit ke kamar.
Setelah sholat ashar berja’maah di masjid,
aku kembali ke kamar. Untuk hari ini aku absen dulu mengaji kitab jurumiyyah.
Mencuci siang tadi benar melelahkan, dikamar aku gelar kasur lalu
merebahkan badan. Sambil memandangi langit-langit, aneh hari ini tak ada santri
yang meminta jasa telponku selain raju. “mungkin mereka meminta pada ustadz
lainnya.” Ujarku dalam hati.
Hampir
saja aku terlelap dan memejamkan mata terdengar suara berisik dari depan teras. “ah paling
dia!..” kataku. Karena merasa tergangu Aku bangkit menengok kedepan teras. ternyata benar rupanya
ustadz fikri, seorang teman pengabdianku. sedang asyik becengkrama dengan
perempuan via telpon miliknya. Aku hanya bisa geleng-geleng, ku panggil dia dan
memintanya untuk tidak berisik, dia mengangguk dan memberi isyarat dengan
jarinya “dua menit lagi” katanya. Aku mak’lum
dengannya, karena temanku yang satu ini memang cukup ganteng, kulitnya yang putih dan badannya yang tegap,
membuat banyak perempuan suka padanya. Sehingga tiap hari tak jarang dia
mendapat telpon atau sms yang tak kenal waktu baik siang maupun malam bahkan
pernah waktu itu kupergoki dia menelpon lama saat jam mengajar dikamar, Santri ditelantarkan
jam pelajaran menjadi kosong. mereka keluar dari kelas, becanda dan membuat
gaduh, aku pun naik pitam, kemarahanku meledak. akhirnya kuhukum mereka berlari
keliling lapangan sampai bel sekolah selesai. Dzuhurnya akut temui fikri dan kutegur
dia, namun respon tak sedap dengan tampang tanpa dosa yang kudapat, membuatku tambah
kesal, Sejak saat aku menaruh benci padanya.
Aku kembali merebahkan badan dikasur,
kuraih hape disebelah kasur, kunyalakan tak tampak ada notifikasi apapun baik
telpon ataupun sms, hanya ada sms ibuku saat mentransfer uang minggu lalu. Dan
panggilan masuk bapak raju sore ini. Ku periksa kontak telpon satu-satu dari
atas sampai bawah. Hampir tak ada satupun yang bisa disms atau sekedar diajak
mengobrol. Pulsa 10 ribu yang kubeli hampir seminggu lalu masih utuh, malangnya
diri ini, Sungguh 180 derajat berbalik nasibku dengan fikri yang selalu banyak
mendapat telpon dan sms. Kupejamkan mata, lalu kuambil nafas dalam-dalam. Huh
ternyata aku tidak Cuma benci fikri aku juga iri padanya. Tak lama aku terlelap
------------------------------------------------------------------------------------
Siang itu aku pulang juma’tan dari masjid
Al-Ikhlas dengan motor bututku vespa super tahun 75. Terlalu jadul untuk
seorang pemuda sepertiku, tapi hanya itu yang bisa bapaku berikan. Seorang guru
tua, dengan semangat mengajar dan mendidik anak bangsa, beliau percaya bangsa
ini masih punya harapan. Dimataku Beliau sosok penyabar dan jarang marah. Beliau
sering memberikan teladan baik dan selalu hadir mengayomi orang-orang. Ah sudahlah
tak ada habisnya bercerita tentang bapaku, yang jelas dalam hatiku bapaku
adalah pahlawanku, aku ingin seperti dia dengan sifat-sifat baiknya.
Qodir duduk dibelakang berpegangan
diperutku.
“dir, yang kenceng pegangannya ane mau
ngebut!” perintah sambil kuputar gas.
“pelan-pelan tadz!...” teriaknya sambil
memegang erat ketakutan.
“hahaha…..tenang aja dir!.” Aku ketawa lepas melihat ekspresinya.
Speedometer motorku bergerak perlahan.
Padahal Vespaku tidak kencang. Kecepatan maksimalnya hanya 60 km/jam tak
lebih. Saking pelannya Pembalap sepeda yang kulihat di tv bisa berjalan lebih
cepat didepanku. Ketakutan qodir bukan karena aku ngebut. Tapi jalan desa pondok kami yang rusak
dan tak beraturan lebih menakutkan baginya. Kerasnya aspal tambal-tambalan
sudah dia rasakan dan mungkin membuatnya trauma, aku lupa kapan kejadiannya,
yang aku tau waktu itu aku ketawa melihatnya mengelus pantat sambil mengaduh.
Dan Besoknya dia absen sekolah.
Qodir
sudah sering naik vespaku, biasanya kuajak dia jalan mengelilingi kampung disore
hari, melihat ladang dan sawah-sawah hijau yang indah. paling tidak dua minggu sekali kami
berkeliling keluar menghilangkan penat sampai maghrib. Tujuanku hanya satu
ingin memberinya hiburan, bukan berarti pilih kasih kepada santri. Tapi Qodir
sangatlah berbeda dengan lainya, tak ada
uang saku tak ada hari jenguk baginya. Orang
tuanya tak pernah kulihat menjenguk barang sekali selama aku mengabdi. Pak
kyai pun merasa iba padanya, beliau menggeratiskan semua biaya untuk qodir,
sebagai balasan qodir selalu ikhlas membantu ummi didapur. Entah dimana
orangtuanya sekarang tapi yang jelas mereka sudah sangat keterlaluan, meski aku
tau mereka sulit ekonomi, namun kedatangan mereka setidaknya mengobati rasa
rindu seorang qodir. Aku suka sedih kalau
melihatnya sendiri dikamar saat yang lain bercengkrama dengan orangtua masing-masing
saat hari jenguk. Itu alasan kuat aku sering mengajaknya keluar.
Kami sudah sampai di pondok, qodir melepas
pegangannya, dia turun didepan gerbang. Berterimakasih padaku atas tumpangan,
lalu berlari menuju dapur. Santri yang lain masih belum datang perlu lima menit
untuk berjalan dari masjid Al-Ikhlas sampai pondok. Setelah parkir, aku susul
qodir didapur, kulihat dia membantu ummi menyiapkan makan siang. Berbeda dengan
hari biasanya, makan siang pada hari jum’at lebih special, dengan menu enak
ayam atau daging menjadi keberkahan tersendiri dihari jum’at. Terutama bagi
mereka yang tidak dijenguk.
Diluar perkiraanku, beberapa santri datang
lebih cepat dan langsung menuju dapur. “mungkin mereka tidak dijenguk” kataku
dalam hati. Ummi menyendokan opor ayam diatas nasiku.
“kuahnya tambah lagi gak tadz?” Tanya ummi
sambil tersenyum
“iya mi..” kataku mengangguk sambil
nyengir.
nikmat sekali opor ayam buatan ummi hampir
sama dengan opor buatan ibuku dirumah saat lebaran, tak perlu lama cukup 3 menit
makan siangku sudah habis.
aku segera mencuci piring. Tak seperti
ustadz lainya yang makan dikamar. Aku lebih memilih makan didapur bersama para
santri. Aku senang bisa dekat dan Berinteraksi dengan mereka, karena aku yakin
mereka pasti butuh sosok ustadz yang mendengar curhat dan keluhan-keluhan
mereka. Mungkin aku menurunkan sifat mulia bapaku.
“Tin..tin..”.bunyi klakson mobil putih Toyota
pajero didepan gerbang, aku kenal sekali mobil itu, mobil yang tiap minggu
datang kepondok, mobil yang selalu membuat seorang raju bahagia. Dengan sigap
segera kusuruh santri untuk membuka gerbang lebar-lebar, sebenarnya gerbang
pondok kami selalu terbuka, tapi untuk sebuah pajero besar masuk gerbang harus
dibuka full.
Ayah raju menyapaku, aku tersenyum
membalas sapa. Kami mengobrol sebentar diteras masjid, beliau menanyakan banyak
hal tentang anaknya saat ini, dengan senang hati aku menjawabnya, sebagai
seorang guru aku melihat banyak perubahan pada diri raju, dulu dia sangat
manja, seperti anak orang kaya pada umumnya. Tapi sekarang sedikit-sedikit
mulai tampak kemandiriannya. belakangan juga dia terlihat rajin berbeda dengan
delapan bulan lalu saat dia hanya ingin bermain dan tak mau belajar. Ayah raju
sangat gembira mendengar perkembangan anaknya. Dia berterimakasih sekali padaku
tapi sekali lagi aku jelaskan padanya itu bukan karenaku, semua karena pondok
ini selalu berusaha memberikan pendidikan kedisiplinan dan tanggung jawab. Dia tersenyum
lalu merogoh kantong celana lalu memberikan amplop putih padaku, aku segera
menolak tapi dia terus memaksa, akhirnya aku mengalah aku terima juga amplop
putih itu tak ada salahnya menerima pemberian orang lain kataku dalam hati.
Diteras
masjid sudah banyak orang, satu persatu walisantri berdatangan, Beberapa dari
mereka sudah tua, guratan wajah tampak sekali. Banting tulang untuk
menyekolahkan anak, berharap suatu saat kelak mereka tumbuh menjadi seorang
yang sukses. Para santri menghampiri orangtua mereka menyambut dengan senyum
kegembiraan. Ah aku jadi teringat qodir.
Setelah selesai mengobrol dengan ayah raju
aku pamit kekamar. Aku menyapa beberapa walisantri, mereka tersenyum. Senang rasanya melihat wajah-wajah
ikhlas mereka. Aku berlalu, dikamar segera kubuka amplop putih dengan
hati-hati. Satu lembaran uang lima puluh ribu rupiah yang masih kaku, baunya
menandakan cetakan baru, ini sudah kelima kalinya aku diberikan uang oleh
ayahnya raju. Uang pemberiannya minggu lalu masih tersisa tiga puluh ribu, aku
tidak banyak jajan, uangnya hanya kubelikan pulsa dan bensin untuk vespaku. Keduanya
masih utuh, pulsaku masih sepuluh ribu, dan bensin vespaku masih full. Persis seperti
minggu lalu.
Aku keluar kamar melewati lorong asrama. Bangunan
persegi panjang dengan dua tingkat cukup menampung seluruh santri pondok ini. Aku
menuju kamar qodir. Dia ada disana sedang membaca buku. Aku menghampirinya, mau
memberikan uang lima puluh ribu yang tadi. Aku tidak butuh uang itu, kiriman
orangtuaku masih ada. Qodir lebih berhak dan membutuhkan uang itu ketimbang
diriku.
“assalamualaikum….” Aku masuk kekamarnya
“waalaikumsalam…eh ustadz mufti,.” Dia agak
kaget melihatku datang tiba-tiba
“lagi baca apa?” tanyaku basa-basi cover
hijau itu sudah aku kenal sekali.
“ini kitab jurumiyyah tadz.” Jawabnya menunjukan bacaan depan cover.
Aku tersenyum, dia anak yang baik, buku
mungkin bisa mengalihkan rasa perih melihat teman-teman lainnya dijenguk. Aku merogoh
kantong. Mengeluarkan uang lima puluh ribu.
“dir, ane lagi ada rezeki, ini ada uang
buat ente, duit ane masih banyak.” Kataku sambil menyodorkan uang baru itu.
“gak usah tadz, ane juga baru dikasih duit
sama ummi kemaren” katanya menolak.
“Cuma buat tambah-tambahan aja dir.” aku
terus memaksanya, karena aku tau uang pemberian ummi tidak seberapa. Tidak untuk
satu bulan kedepan.
“gak usah tadz.” Dia tetap menolak dengan
mata penuh keyakinan, sejak dulu pendirian qodir memang kuat. Aku mengangguk nggak
bisa berbicara lagi ketika dia bilang tidak berarti tidak.walau ekonomi sulit tidak
menjadikannya meminta-minta belas kasihan pertolongan orang lain, seperti pesan
selalu diulang-ulang kyai saat pelajaran kitab jurumiyyah.
Hampir saja aku beranjak keluar kamarnya,
dia menghentikanku. Lalu bilang ingin menelpon orangtuanya, aku kaget mendengarnya. Ini untuk kali pertama dia
memintaku menelpon orangtuanya, padahal biasanya dia selalu menolak kalau aku
tawarkan. Entah ada angin apa, tapi yang jelas senang dia mau menelpon
orangtuanya. Aku mengangguk dia tersenyum.
“mana nomor teleponya dir?” tanyaku.
“ada tadz, tunggu dulu ya!” katanya
setengah berlari menuju lemari miliknya. Tak lama dia mengeluarkan buku kusam
dari kardus berdebu, dibuka halamannya-halamannya akhirnya ketemu juga, catatan
lama tertulis nomor telepon ayah ; 086992311.
Kuberikan hapeku padanya, dia langsung
menghubungi nomor itu.
“tut..tut..tutt…” bunyi hapeku. Aku menatap qodir, mukanya agak
cemas, Dalam hati aku berdoa semoga nomor ayahnya masih aktif. Doaku terkabul
selang beberapa detik kemudian, telepon dianggkat. Qodir memberi salam,
terdengar jawaban salam dari sana, dari seorang lelaki tua. Suaranya serak,
seperti banyak beban dipikulnya.
“ini qodir pak!, bapak kapan mau jenguk
qodir??....qodir kangen bapak” katanya sambil meneteskan air mata.
Tak kuasa aku menahan air mata melihatnya,
ini untuk pertama kalinya qodir menelpon orangtuanya, entah alasan apa yang
membuat mereka tega tidak menjenguk qodir, aku tak peduli yang penting saat ini
aku terharu melihat seorang anak yang akhirnya bisa menghubungi bapaknya
melepas kerinduan via telepon.
Air mata qodir semakin deras, aku segera
pergi keluar, tak tahan aku berlama-lama. Turun tangga menuju empang samping
asrama untuk menengankan diri, ku usap air mataku dengan lengan baju, aku tak
boleh banyak mengeluarkannya, supaya aku tidak terlihat lemah didepan santri.
------------------------------------------------------------------------------------------
Malam hari aku masuk kekamar, fikri
seperti biasa sedang mengobrol via telpon didepan teras. Aku gelar kasur dan
merebahkan badan. Ku tatap langit-langit. Menahan napas lalu mengeluarkanya,
huft lega sekali hari ini, qodir bilang bapaknya akan datang menjenguk minggu
depan, ya allah aku bersyukur sekali setidaknya pulsaku berguna.
Kairo 13 September 2015
-----------------------------------
ingin hemat ini jawabanya; Pulsa Hemat, Pulsa Elektrik, Pulsa Murah Jakarta, Pulsa Elektrik Jakarta
0 komentar